Menyiapkan Generasi yang Berkualitas dengan Budaya Sensor Mandiri
“Aaaa!!!”
Huft! Untung cuma mimpi, batinku. Tangan-tangan yang keluar dari dalam dinding. Hii, serem!
Ah, ini pasti karena pengaruh nonton film horor di bioskop tadi siang. Hmm, besok-besok lagi mending nggak usah nonton film horor lagi.
“Huu, dasar penakut!” ledek teman saya.
“Emang!”
“Trus kenapa milih film horor?”
He,he,he. Saya cuma nyengir.
Huft! Untung cuma mimpi, batinku. Tangan-tangan yang keluar dari dalam dinding. Hii, serem!
Ah, ini pasti karena pengaruh nonton film horor di bioskop tadi siang. Hmm, besok-besok lagi mending nggak usah nonton film horor lagi.
“Huu, dasar penakut!” ledek teman saya.
“Emang!”
“Trus kenapa milih film horor?”
He,he,he. Saya cuma nyengir.
Itu pengalaman saya akibat menonton film. Gara-gara menonton film horor saya jadi bermimpi buruk. Bisa dibayangkan bila yang menonton adalah anak kecil. Apakah mereka akan terbayang-bayang dengan adegan yang mereka tonton. Tak masalah jika adegan yang mereka tonton itu baik dan mengedukasi. Tetapi jika yang mereka tonton adalah adegan kekerasan atau adegan mesra bukankah tidak mungkin mereka akan menyerap hal yang demikian. Maka tidak heran bila ada anak-anak dibawah umur melakukan aksi kekerasan, penganiayaan sampai hal yang diluar nalar bisa dilakukan oleh anak kecil seperti pemerkosaan dan pembunuhan.
Saya pun pernah mendapati dua anak kecil laki-laki dan perempuan sedang berciuman bibir sambil tertawa-tawa. Saya pun langsung menegur bahwa hal itu tidak sopan. Eh, mereka bilang habis nonton sinetron di televisi. Nah di sinilah peran penting orang tua dalam menasehati anak supaya jangan meniru adegan tersebut. Atau sebisa mungkin anak tidak usah menonton sinetron yang memang diperuntukkan untuk remaja dan orang dewasa.
Satu lagi ada anak tetangga yang tiba-tiba menjerit histeris ketika sedang menonton televisi. Ibunya langsung berlari ternyata dalam VCD yang disewanya terdapat adegan suami istri padahal filmnya dikategorikan ke dalam film keluarga. Untunglah, dalam sekali pencet TV-nya mati.
Orang tua yang peduli kepada anaknya tentu tidak membiarkan anak ikut menonton hal yang kurang pantas ditonton anak-anak. Sayangnya, di dalam masyarakat kita kurang peduli pada nasib anak-anak dengan membiarkan mereka ikut menonton sinetron atau film dewasa. Padahal anak mudah sekali menyerap dan meniru apa yang mereka lihat. Sedih bukan jika anak-anak yang masih imut dan lucu-lucu tumbuh menjadi liar dan susah berprestasi akibat pengaruh negatif dari film yang mereka tonton. Masa muda seharusnya diisi dengan belajar dan melihat hal-hal positif sehingga ke depan, anak-anak dapat menjadi pribadi yang cerdas, mandiri dan berakhlak mulia. Bila anak mudanya sukses, negeri ini pun bisa makin berkembang.
Lembaga Sensor
Sebenarnya sejak dulu pemerintah sudah memiliki Lembaga Sensor Film yang mengontrol semua film, tayangan, dan iklan yang beredar di masyarakat. Namun, seiring perkembangan jaman dan teknologi hal itu menjadi sulit dilakukan. LSF tidak mampu mengontrol semua tayangan dan film-film yang ada di berbagai media digital dan dunia maya. Karenanya di tahun ini LSF mulai mensosialisasikan BUDAYA SENSOR MANDIRI. Tujuannya supaya negeri ini tidak hancur karena generasi mudanya rusak akibat film-film yang kurang mendidik.
Sekali lagi peran orang tua penting untuk mendampingi dalam menonton film maupun acara televisi karena anak-anak belum tahu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bagi orang dewasa pun ada baiknya agar memilih film yang bermutu agar dapat memberikan inspirasi positif dalam kehidupan sehari-hari. Karena apa yang kita lihat seringnya mempengaruhi cara berpikir kita sehari-hari. Ingatlah bahwa kebiasaan yang buruk dapat merusak kebiasaan yang baik.
Sensor mandiri juga diperlukan ketika ada suatu film yang ceritanya bertentangan dengan kearifan budaya lokal. Misal budaya barat yang bebas tentu dinilai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai hal yang tabu dan tidak pantas. Atau adanya suatu budaya di masyarakat tertentu tetapi bertentangan dengan nilai adat atau nilai agama di tempat lain. Ini pun akan terjadi masalah di kemudian hari karena itu dalam rangka 100 tahun Sensor Film Indonesia, LSF akan mendirikan badan sensor di daerah-daerah sehingga masing-masing daerah bisa mensensor bagian mana yang perlu dipotong dengan menyesuaikan kearifan budaya setempat.
Budaya Sensor Mandiri
Budaya Sensor Mandiri juga dapat membentuk masyarakat menjadi penonton yang kritis dalam memilih film-film bermutu. Hal ini tentu akan lebih mendorong para penggiat di bidang perfilman agar dapat memproduksi film yang berkualitas dan memberi manfaat positif untuk masyarakat. LSF pun kini tidak lagi langsung mensensor bagian yang dianggap tidak layak tayang melainkan mengembalikan kembali kepada si pembuat film agar diperbaiki. Dengan demikian tidak lagi ada kesan bila LSF membatasi kreativitas para sineas film.
Pada intinya keberadaan LSF ini adalah salah satu wujud kepedulian pemerintah dalam menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film dan berusaha untuk memajukan mutu produksi film dalam negeri. Jadi, mari budayakan #SensorMandiri bersama LSF untuk kemajuan bangsa.
0 Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke Catatan Yustrini. Silakan meninggalkan komentar. Mohon maaf komentar yang masuk akan melewati tahap moderasi terlebih dahulu, spam, iklan dan yang mengandung link hidup akan saya hapus.