[Cerpen] Kemana Hilangnya Sepatu Desi?
Kemana Hilangnya Sepatu Desi?
Oleh: Yustrini
“Mama... sepatu Desi mana?” tanyaku panik. Mataku terfokus ditumpukan sepatu dekat tangga. Tanganku bergerak cekatan membongkar semua benda yang tergeletak di atasnya.
Masa cuma sebelah? Terus yang kanan?
Besok!
Nggak lucu! Desi pasti marah-marah dan nggak bakalan kasih pinjam barang-barang mahal miliknya lagi sama aku.
Desi itu sahabat baikku sejak SMP, aku biasa pinjam barang sama dia. Mulai dari tas, sepatu sampai baju. Dia itu anak orang kaya, semua barang yang dia pinjamkan selalu baru paling bekas dia pake sekali dua kali aja dan selalu branded. Makanya kalau sepatu merah maron yang baru dipinjam aku hilang, habislah uang tabunganku setahun!
Mama memandangiku putus asa sambil meletakkan Weni, adikku yang baru berumur setahun di kursi kecilnya. Mama baru selesai memandikannya.
“Sarapan dulu, nanti kamu telat lagi ke sekolah. Mama nggak mau terus-terusan dipanggil kepala sekolah kamu.”
“Mama ini soal sepatunya Desi aku janji ngembaliin hari ini," sahutku.
“Lagian kamu pinjam barang orang lain nggak dijaga sih, jadinya hilang kan?”
Aku melirik ke jam dinding. Ya ampun! Sudah pukul 6 lewat 25. Aku harus cepat kalo nggak ingin dihukum lagi. Minggu lalu aku sudah telat dua kali. Soal sepatu Desi nanti kucari lagi. Secepat kilat aku menghabiskan segelas susu, memakai sepatu dan memasukkan bekal ke tas.
“Pa...tunggu!” Teriakku memanggil papa yang sudah menjalankan mobilnya keluar pagar rumah. Dibawah tatapan kesal kedua adikku, aku berlari-lari mencapai mobil papa.
“Iih, papa kenapa sih nggak nungguin Stella?” Protesku saat berhasil masuk ke mobil duduk di sebelah papa.
“Nungguin Kak Stella selesai bisa-bisa kita semua telat ke sekolah. Sekarang apalagi yang bikin Kakak keluarnya lama?” Vian, adikku yang sudah SMP menyindir.
Semua anggota di rumah ini tahu aku pencetak rekor siswi paling sering telat di sekolah.
“Kak Stella minta maaf tadi Kakak harus cari sepatunya Desi yang sebelah kanan. Kalian ada yang lihat nggak?”
Kedua adikku menggeleng.
“Pa, boleh nggak aku minta uang tambahan buat gantiin sepatunya Desi yang hilang sebelah?”
“Memang ada ya orang jual sepatu cuma sebelah doang?” ujar papa.
“Papa! Serius nih!” keluhku.
Papa tertawa sambil terus berkonsentrasi penuh ke jalan. Aku tahu papa sangat repot harus mengantar kami bertiga ke tiga sekolah yang berbeda, Alex, kelas 5 SD, Vian di kelas 7 dan aku di kelas 10 sebelum berangkat ke kantor.
Tahun depan jika aku sudah punya SIM, papa akan membelikan sepeda motor agar aku tak harus terus terlambat. Itu artinya tak ada uang jajan tambahan bulan ini.
Mobil sudah berhenti tepat di depan gerbang SMA Cinta Bangsa. Aku cium tangan papa dan segera masuk.
Baca Juga: Cerpen "Hilang"
Di kelas
“Please, maafin aku Des. Aku nggak bisa nemuin sepatu lo yang sebelah. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya!” Aku langsung mohon maaf begitu bertemu Desi.
“Ya ampun, Stella. Nggak segitunya kali! Lagian cuma sepatu hilang nggak bikin dunia kiamat kok!” Kata Desi menenangkan.
“Lo nggak marah, Des?”
Desi tersenyum, “ ya nggaklah! Santai aja lagi!”
“Makasih ya Des, tapi gue janji kalo nggak bisa nemuin sepatu lo yang sebelah gue bakal gantiin tuh sepatu.”
“Udah, lupain aja. Sepatu gue banyak kok, sampai nggak bisa gue pakai semua, he.he.”
Aku memeluk Desi. Makasih ya Des, lo emang sahabat gue yang terbaik!!!
* * *
DICARI SEBUAH SEPATU KANAN BERWARNA MERAH MARON
Berhasil! Aku udah membuat selebaran pengumuman lengkap dengan fotonya.Desi tertawa melihat pengumuman itu tertempel di pagar rumahku.
“Apanya yang lucu?”
“Nggak gue cuma teringat sama dongeng Cinderella. Seorang pangeran yang mencari gadis pemilik sepatu kaca yang hilang sebelah. Wow! Apakah sekarang pangeran itu akan menemukan putri Stella?”
Aku nyengir. Membayangkan pangeran itu mengetuk pintu dan membawakan pasangan sepatu Desi. Oh! Benar-benar cerita yang romantis.
“Awas Kak! Lalat nyasar tuh!” Alex tiba-tiba lewat membawa sepeda, roda depannya nyaris mengenai kaki kananku. Hilang sudah fantasiku soal pangeran.
Kembali pada kenyataan yang ada. Aku bukan Cinderella. Lagipula sepatu itu hilang di dalam rumah bukan di jalan atau di tempat pesta. Jadi mustahil ada pangeran nyari-nyari aku.
Lebih baik aku tempel pengumuman di pembuangan sampah kompleks perumahan juga. Sebab ada 4 tersangka yang sedang aku curigai.
Pertama, Bi Surti assisten mama yang sering menyingkirkan barang-barang ke tempat sampah. Dulu aja kacamata sport papa hampir jadi korban gara-gara tergolek di anak tangga. Untungnya ketahuan mama jadi nggak sampai menghuni tong sampah.
“Bibi yakin, Non. Nggak membuang barang-barang lagi apalagi sepatu,” kata Bi Surti ketika diinterogasi siang tadi.
Tersangka kedua, anjingku Beno. Dia cuma bilang, “guk.” Dan nggak bisa diandalkan mencari jejak.
FYI, dia kehilangan radar penciumannya sejak setahun lalu. Kurasa bukan dia pencurinya.
Ketiga, adikku Weni. Meskipun baru bisa jalan, dia hobi memasukkan barang apa saja yang dia sukai ke lemari mainannya. Aku belum sempat mencari sepatu itu disana.
Kembali ke rumah, kudapati Desi sedang asyik makan siang ditemani mama dan Weni.
“Stella, titip Weni sebentar, “ pinta mama sambil menyerahkan Weni padaku.
“Tapi Ma, aku harus mencari sesuatu...” aku keberatan bila harus membongkar lemari Weni sementara dia ada di dekatku. Pasti dia akan demo besar-besaran bila ada yang menyentuh lemari kesayangannya.
“Mama minta tolong kamu karena nggak ada lagi yang bisa mama mintai tolong. Mama ada perlu ke butik tante Raya, “ kata mama sambil bersiap-siap.
Ya, ada Vian. Tapi kulihat dia segerakabur sehabis makan siang tadi. Kebiasaan supaya nggak disuruh mama jaga Weni.
“Kenapa nggak dibawa saja? Aku dan Desi ada tugas yang harus dibuat...” Aku mengusulkan ide cemerlang ke mama dan memberi isyarat ke Desi tapi ia malah melambaikan tangan.
“Nggak papa kok Tante, kita bisa gantian bikin tugas sambil jaga Weni,” ujar Desi tersenyum.
“Kak, kak,” Weni menunjuk-nunjuk.
“Apa?” Aku mengikuti telunjuk adikku.
Bagus, tersangka keempat sudah datang. Beno yang sedang tiduran di pojok ruangan berdiri menggeram pelan melihat Pushi, seekor kucing tetangga yang nakal. Dia punya kebiasaan yang aneh, ngutil barang milik tetangga sampai kamar Randy-majikannya penuh.
Ia masuk lewat jendela yang terbuka.
“Wow, kucing rumahan yang cantik,” Desi meraih Pushi dengan gemas. Ia memberikan sepotong ikan goreng yang segera dilahap habis hewan berbulu coklat terang dan putih itu.
“Jangan tertipu pada bulunya yang cantik tapi pencuri. Ia bertanggungjawab atas semua benda di rumah ini yang hilang,” kataku sengit.
“Guk, guk,” Beno berdiri geram seperti setuju dengan ucapanku.
“Pus hush, hush,hush,” tampaknya Weni juga setuju denganku. Ia mengayun-ayunkan tangan mengusir kucing itu.
“Hei kalian nggak suka kucing ya?”kata Desi, Ia mengelus-elus Pushi yang membuatnya makin pasang muka sok cute.
“Meeooong...” kepala Pushi mengikuti belaian tangan Desi.
* * *
Desi baru pulang setelah mama datang. Sementara Weni tertidur pulas di box bayinya. Jadi dengan bantuan mama, aku bisa mencari sepatu diantara semua tumpukan mainan milik Weni. Hasilnya nihil, malahan mama menemukan sweater merahnya yang sudah lama dicari terselip di sudut lemari.
Sekarang jelas siapa tersangka terakhir yang belum diperiksa, Pushi. Tapi gimana caranya? Nggak mungkin kan aku menggeledah rumah tetangga?
Ah, itu dia. Pushi sedang mencoba melompati pagar. Kulempar sapu yang kebetulan ada di dekatku. Meleset, Pushi lari dan seseorang mengaduh kesakitan.
Upps, lari...
“Stella, kamu keterlaluan! Kenapa sih pakai lempar-lempar segala?” Mama mengomel setelah mendapat laporan dari tetangga sebelah kalo Randy, anaknya terkena lemparan sapu sore tadi.
Aku terkikik pelan membayangkan kepala Randy benjol.
“Stella!”
“Maaf Ma, Stella cuma ingin mencari sepatu Desi yang hilang, Pushi tersangka terakhir yang belum diselidiki.”
“Tapi nggak gitu caranya. Melempari Pushi, mama nggak pernah ngajarin kamu menyakiti binatang.”
* * *
Malamnya, aku terkapar di tempat tidur. Hari ini begitu menguras tenaga dan emosi. Mulai dari mencari sepatu Desi yang hilang, membuat selebaran, mengasuh Weni, melempari kucing salah sasaran sampai diomeli mama.
Terpaksa deh kalo nggak ketemu juga tabunganku di bank dibobol buat ngegantiin sepatu yang aku pinjam. Menunggu uang dari papa nggak mungkin, paling bulan depan baru dikasih lagi. Kelamaan. Nggak enak sama Desi. Sekarang cuma bisa pasrah sambil berdoa semoga Tuhan kirim pangeran yang menemukan sepatu kanan Desi, amiiin.
* * *
Esok harinya.
“Aku melihatnya waktu main sepeda di garasi, sepatu itu tergeletak di rak perlengkapan cuci mobil,” kata Alex saat sarapan.
“Kok bisa?” tanyaku heran. Aku memandang semua orang. Tiba-tiba papa tersenyum dan mengaku kalo beliau lah yang menaruh salah satu sepatu itu disana.
“Papa sedang terburu-buru akan ngantar kalian ke sekolah, eh kaki papa tersandung sepatu lalu papa ambil dan...”
“Papa nggak bilang ke Stella sementara Stella kebingungan di dalam cari sepatu Desi yang sebelah nggak ada,” lanjutku kesal.
“Lagipula, Stella kan nggak nanya sama papa kan?” ujar papa membela diri.
“Ih papa, cape deh!”
Semua tertawa. Pelajaran yang dapat aku petik dari peristiwa ini adalah jangan suka sembarangan naruh barang apalagi kalo bukan milik sendiri. Selain bisa rusak atau hilang bisa bikin orang celaka.
Kedua, ternyata menemukan kembali barang yang sudah hilang butuh waktu, tenaga juga uang. Karena Alex minta semangkok bakso dan jus alpukat. Tapi tak apa asalkan persahabatanku dengan Desi tetap lancar dan tabunganku nggak jadi terancam.
Thank you Alex, I love you so much!
Baca Juga:
Syndrom Hari Rabu [cerpen dimuat di majalah Kawanku, no. 208 22 Juli-05 Agustus 2015 ]
[ Sebuah Fiksi ] Wajah yang Mirip
0 Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke Catatan Yustrini. Silakan meninggalkan komentar. Mohon maaf komentar yang masuk akan melewati tahap moderasi terlebih dahulu, spam, iklan dan yang mengandung link hidup akan saya hapus.